Media telah menjadi sebuah mekanisme di mana para pebisnis dan politisi menyampaikan kepentingan mereka dan pada saat yang sama juga mengambil profit dari bisnisnya, pada pebisnis biasanya menggunakan jasa social media marketing untuk memasarkan bisnisnya. Padahal jelas bahwa konglomerasi media dan praktik dalam penyiaran yang demikian adalah sebuah pelanggaran atas undang-undang dasar 1945 pasal 33 yang menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karenanya, frekuensi sebagai kekayaan alam yang ada di wilayah udara Indonesia, tidak boleh dimonopoli oleh siapapun.
Adanya monopoli dan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaraan oleh satu orang jelas melanggar UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 pasal 5 butir ketujuh (g) yaitu: “mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran”. Selain itu, Pasal 18 ayat 1 (satu) menjelaskan “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah, dibatasi”.
Pengaturan seperti ini jelas berguna untuk mengatur kekuatan hegomonis media, karena kekuasaan tersebut dapat mengeksploitasi khalayak dan pekerjanya yang juga akan mengabaikan isi atau kepentingan publik (publik interest). Kepentingan publik diabaikan dan hanya dieksploitasi untuk menjadikan kepentingan publik sebagai komoditas atau buruh kapital dan juga menjadi komoditas kepentingan politik pemilik media.
Logika kapitalisme dan peluang bisnis menjadi pendorong pemilik media melakukan aksi korporasi seperti diversifikasi, ekspansi, merger, dan akuisisi untuk memperluas atau ekspansi aktivitas bisnis, untuk meluaskan bisnis biasanya menggunakan jasa social media marketing. Aksi ini membuktikan adanya hukum rimba dalam bisnis media karena yang paling kuat yang paling bertahan. Kepemilikan media yang terkonsentrasi ini jelas memiliki potensi bahaya yang dapat mengancam kepentingan publik. Pemusatan kepemilikan ini didorong oleh logika perkembangan media sebagai entitas bisnis yang menjanjikan pendapatan signifikan, salah satunya lewat pendapatan iklan.
Comments
Post a Comment